Jadi ceritanya, saya sedang belajar menulis tentang
kuliner, travel dan sejarah gedung-gedung tua. Dan yang menjadi
laboratorium tempat saya menjaring ide adalah kota kecil Jember.
Alhasil, tiga hari ini saya berkeliling Jember dan berharap menemukan
banyak hal yang bisa saya jadikan bahan untuk belajar menulis.
Sama seperti para pejalan yang lain, saya juga akrab dengan yang namanya
warung kopi. Itu adalah tempat yang bersahabat untuk melepaskan penat
dan mengembalikan energi yang hilang. Dan tiga hari ini, ada banyak
warung yang saya singgahi. Nah, dari sinilah cerita menjadi menarik.
Untuk urusan kopi, Jember memang tidak sehebat kota-kota lain yang
memiliki jenis kopi khas dan cara penyajian yang unik. Namun begitu,
warung-warung kopi di sini mudah sekali mengadaptasi semua itu,
tergantung permintaan pelanggan. Ya, Jember memang hebat dalam hal
adaptasi. Bisa dikatakan, Jember adalah Amerika serikat dalam skala
kecil. Tempat bercampurnya segala budaya (terutama dari dua kebudayaan
besar, Jawa dan Madura) dan membola salju menjadi sebentuk kebudayaan
dengan polesan baru. Maklumlah, Jember memang bukan kota yang berdiri di
atas reruntuhan kerajaan besar.
Kembali tentang warung kopi di Jember..
Ada yang unik dengan suasana warung kopi di Jember. Dan saya rasa, ini
sulit ditemui di warung kopi di kota-kota lain. Yang saya maksud tidak
lain adalah mengenai perpindahan bahasa. Sekali waktu menggunakan bahasa
Indonesia, kemudian pindah dengan menggunakan bahasa lokal. Kadang
bahasa Jawa kadang bahasa Madura. Dan saat melakukannya, mereka tidak
perlu berpikir lebih untuk merangkai kata. Semuanya sudah teranalisis
otak kiri dan telah terimajinerkan otak kanan.
Suasana yang akrab dengan gaya komunikasi yang unik, itulah andalan
warung kopi di Jember. Keunikan ini pernah saya rasakan ketika sedang
ngopi di kantin di dalam kampus Universitas Jember bersama seorang
mahasiswa asal Thailand. Kacau, segala bahasa bercampur baur. Anehnya, lha kok nyambung.
Saya memang pernah menulis tentang Jember dan Bahasa Planetnya.
Di sana saya ceritakan juga kenapa bahasa orang Jember bisa seunik
sekarang ini. Kali ini, saya tuliskan lagi dengan lebih sederhana,
mengambil sudut pandang dari suasana di warung kopi.Tentang gaya
berkomunikasi masyarakatnya, dan pilihan kata yang khas.
Bila anda sedang nyruput kopi di sini dan sedang beruntung,
anda akan mendapatkan suasana obrolan hangat dan menemui kata kata yang
bukan Jawa bukan pula Madura.
Contoh kata-kata yang bukan Jawa dan bukan Madura :
Kalau orang jawa menyebut cangkul dengan pacul, maduranya landuk. Kalau di Jember namanya pacol.
Di bahasa jawa, bambu dikenal dengan nama preng, maduranya perreng, dan bahasa Njembernya adalah eppreng.
Orang Madura mengenal ayam dengan kata ajem. Bahasa jawanya pethek (e dibaca seperti membaca reggae). Orang Jember menyebut ayam dengan Pethek (e dibaca seperti membaca pesek).
Di atas adalah kata kata hasil akulturasi budaya. Ada juga kata-kata
baru, yang lahir dari asimilasi budaya. Ciri-cirinya, kata mengandung
pengulangan dan tersebar juga di daerah pandhalungan (sekitar Jember).
Sebentar lagi BBJ / Bulan Berkunjung Jember akan segera digelar. Bagi
anda yang berencana untuk berkunjung kemari, sempatkan juga untuk
nongkrong di warung kopi kelas rakyat. Anda hanya butuh sedikit
konsentrasi, pasang telinga, kemudian rasakan sensasinya.
Sumber:
Kompasiana
Kompasiana
0 komentar:
Posting Komentar